Jumat, 14 April 2017

Pria Dari Masa Lalu

Tokoh:
Merlyana
Reynald
Ibu


Aku terbangun dari tidurku. Alarmku berdering sangat keras. Aku berusahameraih alarm dan memukulnya. Tapi tak berbuah hasil apapun. Aku sangat dongkol dengan suara alarm itu. "Aaargghh!! sungguh berisik" erangku. Dan betapa sialnya aku, aku terjerat selimut dan terjatuh.
Aku melihat kalender yang terpajang di kamarku. Aku membuka mataku lebar- lebar menyadari hari ini hari pertama MOS di SMA. Aku segera menuju kamar mandi dan mempersiapkan diri. Aku tidak sempat sarapan karena terlalu mustahil bsa meluangkan waktu untuk sarapan. Aku harus segera menuju halte bis. Aku berlari menuju halte bis. " Tinggal sedikit lagi sampai ke halte. Semangat!" teriakku dalam hati
Bruuummm, bis nyaris berangkat meninggalkanku. Tapi aku berhasil masuk ke dalam bis. Bruk! Aku terjungkal dan tertimpa seseorang. Aku merasakan tubuh tegap seseorang menekan tubuhku. "Beraaaaat!!" Teriakku. Aku bisa mencium bau amis di hidungku. Aku menyeka hidungku dengan perlahan. Cairan merah gelap menghiasi tanganku seketika. Aku pusing dan akhirnya pingsan.
Aku tak tahu apa yang terjadi, tapi aku terbaring di ranjang empuk berbalut selimut hitam. Dinding kamar berwarna biru gelap dan dihiasi beberapa kertas desain miniatur rumah dan lain- lain. Ornamen yang berada dalam kamar ini sungguh lengkap dan mewah. Meski minimalis, kamar ini sungguh keren. " Tunggu, ini kamar laki- laki. Aku dimana?!" Aku duduk dengan segera dan beranjak turun dari kasur. Dan aku terkejut mendapati aku memakai kaos putih polos dan tak berseragam. Butuh waktu untuk memikirkan apa yang terjadi, tapi aku tak peduli. Aku segera meraih tas sekolahku dan beranjak keluar kamar.
Bau sedap makanan tercium sangat tajam. Begitu mudah tujuanku teralihkan. Aku ingin segera keluar. Namun, perutku berkata lain. Mungkin karena perutku meronta belum kuberi makan tadi pagi. Akhirnya aku pasrah digiring oleh instingku menuju sumber bau sedap itu. Aku melihat tubuh jakung laki- laki sedang memasak. Ia sedang membelakangiku. Mungkin ia tidak sadar kalau aku sedang mengamatinya. Aku sangat terkejut ketika aku memainkan hpku dan kembali memandangnya, sosok pria itu sudah tak lagi di posisi awalnya. Ia tidak lagi memasak. Aku merasakan hawa- hawa dingin di belakangku. " DOR!" Ia mengejutkanku. Aku berteriak dan berbalik memeluknya karena takut. Aku mengeratkan pelukanku sambil membuka mata. Aku tidak menyadari kalau aku memeluk seorang laki- laki. Kukira, aku memeluk sebuah tembok karena sangat tegap. Aku mengarahkan pandanganku dari bawah menganalisis sampai atas. Pandanganku terhenti ketika aku melihat mata hijau terang yang indah. "Wow" kataku. "Permisi? Apa ada yang kau katakan?" suara berat itu menyadarkanku dari kekagumanku pada 2 mata hijau itu. Aku segera melepaskan pelukanku dan melihat sekitar. Aku mendunduk karena tersipu malu. Kami berdiri dalam diam. Sungguh sepi.
"Apa kau sudah tak apa?" ia memulai pembicaraan.
"Emang aku kenapa?"
Ia terkekeh dan menjawab " Hidungmu tadi berdarah dan kau tidak sadarkan diri seketika"
Laki- laki itu menggiringku duduk di kursi meja makan dan mulai mengajakku berbincang- bincang"
Rekaman ulang kejadian tadi pagi terulang kembali. Aku langsung bertanya: " Lalu, bagaimana bisa aku disini? Dan kamu siapa?"
" Tadi aku tidak sengaja menimpamu. Dan namaku Reynald Willson. Aku masih lulusan S1, tapi aku sudah sering kali mengerjakan proyek besar dan meneruskan perusahaan ayahku. Aku pindahan dari Australia satu minggu kemarin. Tinggiku 186 cm dan beratku 65 kg. Umurku 20 tahun. Dan mata hijau ini, turunan ayahku. Indah bukan? Kulihat kau menyukainya," Ia tersenyum dengan percaya diri dan menggodaku. Wajahku memanas dan aku tak sanggup memandang mukanya. Ia tertawa melihat reaksiku.
"Apa yang lucu!" bentakku
" Kau lucu sekali," aksennya berbahasa Indonesia tidak begitu fasih. Tapi lumayan untuk pemula. Omong- omong, ia belum berhenti menertawakan dan menggodaku sampai 10 menit. Aku menunggunya selesai tertawa sampai bosan.
" Lalu, siapa namamu nona muda?"
" Aku Merlyana" jawabku singkat
" Ceritakan tentangmu" ujar Reynald
" Kau ini sepertinya SKSD ( Sok Kenal Sok Dekat) sekali, ya?" ledekku
" Dia hanya memiringkan wajahnya. Sepertinya, ia tidak mengerti. Aku hanya mengangkat bahuku dan menjulurkan lidahku sebagai balasan ia meledekku tadi.
Ia tertawa dan tersenyum. Ia menyajikan makanan ke meja dan mempersilahkanku makan. Aku bingung karena ia hanya minum susu satu gelas dan 2 lembar roti gandum saja. Aku ingin bertanya kepadanya tapi bukankah tidak sopan makan sambil berbicara?. Aku menjaga etikaku ketika makan. Apalagi di rumah orang lain. Ia menyelesaikan sarapannya dengan cepat. Ia meninggalkanku sebentar dan menuju ke atas. Aku tak tahu ia kemana, toh bukan urusanku juga.
Beberapa menit kemudian aku menyelesaikan sarapanku dan mencuci piring- piring kotor yang ada di tempat cuci. Sebenarnya ada mesin cuci piring. Hanya saja aku tak tahu bagaimana cara menggunakannya. Jadi, daripada salah memakainnya lebih baik pakai cara manual saja. Bajuku basah ketika aku membuka keran terlalu besar dan terkena air. Aku tak tahu harus apa. Sementara laki- laki itu mendekat padaku. Aku membelakanginya berusaha agar ia tidak melihat ke arahku.
"Merry, ini baju seragammu. Kurasa, ini sudah cukup kering untuk kamu pakai kembali."
Aku sangat tegang.
" Merry, kau tak apa? Kamu tegang sekali," dia memutar badanku. Aku mau mengelak, tapi apa dayaku yang berbadan lebih kecil darinya.
" Ouwwww. Karena ini??" Ia memandangku dan baju basahku. Aku malu. Dan segera memalingkan badan kembali. Aku tak tahu dan tidak mau tahu bagaimana ekspresi mukanya sekarang.
Ia menarikku dan mendekatkan mulutnya ke telingaku.
"Menurutku, kau lumayan juga"
" Maksudmu?" Aku memeringkan kepala tak mengerti. Ia menaruh baju seragam yang sebenarnya milikku ke tanganku.
"Omong- omong Reynald.." ucapanku menggantung.
"Ya?" Reynald terlihat sedang menahan senyum yang mengembang.
"Namaku bukan Merry. Tapi Merlyana. By the way Kamar mandinya dimana ya?"
Ia menunjuk ke arah kamar yang merupakan tempatku berbaring sebelumnya. Aku segera masuk ke kamar mandi yang berada di dalam kamar minimalis itu. Aku segera berganti baju. Tiba- tiba, lampu kamar menyala. Sepertinya Reynald masuk ke dalam kamar. Aku segera keluar kamar mandi dan memeras baju putih yang kebasahkan tadi. Aku tak tahu apa yang Reynald lakukan saat itu. Dan ketika aku berbalik, jedar. Aku merasa ada halilintar di sekitarku. Aku melepaskan genggamanku dari baju basah itu dan menutup mataku. Aku segera masuk ke kamar mandi.
Setelah beberapa menit aku tidak mendengar suara, aku memberanikan diri untuk keluar dari persembunyianku. Aku mengambil lagi baju yang kulepaskan tadi. Dan segera keluar kamar. Aku mencari jemuran dan menjemur baju itu. Aku ingin mengucapkan terima kasih pada Reynald dan berpamitan pulang. Tapi, aku tak bisa menemukan Reynald. Aku mencarinya ke ruangan- ruangan. Dan aku tidak menemukannya.
Aku meneukan tumpukan kardus di sebuah ruangan. Dan ruangan itu belum dibersihkan. Aku menengok ke arah jam. Sudah pukul 10.00. Sangat terlambat untuk mengiuti MOS. Aku memutuskan untuk memberi pesan singkat pada ibu dan mematikan ponselku. Aku tak mau ada yang menggangguku bersih- bersih ruangan yang sungguh berserakan ini. Sebelum aku mematikan ponselku, aku mendapat pesan singkat dari nomor tidak kukenal. Dan ternyata, ada nama Reynald tercantum di sana. Ada hal yang membuatku heran. Pertama, bagaimana aku bisa punya nomor Reynald. Kedua, apa dia yang menambahkannya sendiri ke ponselku? Ketiga, bagaimana cara dia membobol password ponselku. Keempat, untuk apa ia mengirim SMS. Kenapa tidak meninggalkan pesan di kertas saja sebelum ia pergi. Akupun membacanya.
" Dear Merlyana,
Aku Reynald. Aku pergi duluan karena ada urusan. Omong- omong aku mulai menykaimu. Maukah kau berkunjung ke rumahku lagi sesekali lain waktu?
Kau boleh lakukan apa saja di rumahku sampai aku pulang. Aku akan pulang ke rumah jam 13.00. Kuharap, kau masih menungguku pulang saat nanti aku sampai di rumah.
With love,
Reynald"
Aku hanya mengernyitkan alisku dan menggelengkan kepala. Tanpa sadar, senyumku pun mengembang. Aku segera mematikan ponselku dan mulai memindahkan kardus- kardus itu. Aku menyeretnya satu demi satu. Bukan karena apa, tapi kardus itu sungguh berat. Dan aku tak mungkin mengangkatnya. Bisa- bisa aku gepeng tertimpa kardus itu. Aku membersihkan ruangan itu. Aku menguncir ekor kuda rambutku dan melepas baju seragamku. Aku mengganti pakaianku dengan pakaian tipis berwarna peach yang sebelumnya aku sediakan untuk jaga- jaga terkena usilan kakak OSIS ketika MOS. Jadi, kurasa tak apa untuk memakainya sekarang.
Aku mulai dengan menyapu dan membersihkan jendela dan debu- debu di sudut ruangan. Lalu aku mulai mengepel. Setelah itu, aku mulai mengeluarkan barang- brang dari kardus. Ada beberapa barang yang berdebu. Jadi sekalian saja aku bersihkan. Aku menata barang- barang itu sesuka hatiku. Tapi aku menatanya dengan hati- hati an memikirkan selera Reynald pula. Aku menatanya menjadi ruangan santai. Aku menata buku di almari baca di sudut ruangan ditambah dengan meja dan lampu baca kecil. Aku pun menata meja kerja dan meja gambar arsitek didekatnya. Aku membiarkan imajinasi dan tanganku mengaturnya. Setelah selesai menata dan mendesain ruangan, aku membuka kardus lainnya. Aku menemukan sebuah karpet elegan. Jadi aku membeberkannya di ruangan tengah karena kurasa cocok.
Aku menemukan foto- foto Reynald dan keluarganya. Tapi anehnya, aku tidak menemukan fotonya bersama perempuan 1 orangpun. Kukira, Reynald sudah memiliki pacar. Tanpa sadar aku meledeknya dalam hati. " Iya juga ya, siapa yang mau bersama orang yang suka meledek orang lain seperti Reynald." Aku tertawa membayangkan muka Reynald yang kudapati beberapa menit yang lalu ketika ia menahan senyumannya yang mengembang. Sungguh konyol. Tapi entah kenapa aku menyukainya. Aku segera membersikan pigura- pigura foto itu dan mulai meatanya di beberapa paku yang sudah tersedia di dinding. Ketika melihat hasilnya, aku sungguh puas dengan hasil kerjaku. Meskipun aku tak pernah membayangkan apa reaksi Reynald nanti. Anggap saja, ini tanda terima kasihku mau membiarkanku beristirahat dan sarapan di rumahnya.
Waktu sudah menunjukan pukul 12.30 siang. Aku memilih untuk mandi dan kramas sejenak membersihkan diri. Badanku terasa lengket semua. Dan aku merasa sedikit bau. Setelah mandi, aku menyalakan kembali ponselku. Aku masih memakai baju handuk karena malas memakai seragamku lagi. Dan bajuku masih kucuci. Lagipula, masih 20 menit lagi Reynald akan pulang. Mungkin 20 menit cukup untuk mengeringkan dan menyetrika baju peachku. Jadi, sambil menunggu bajuku kering, aku memainkan ponselku. Ibu menelponku berkali- kali ketika ponselku kumatikan. Jadi aku menghubungi ibuku untuk memberi kabar dan menceritakan kenapa aku tidak ikut MOS. Aku juga meminta ijin untuk pulang telat. Aku berbicara dengan ibu lewat ponsel cukup lama. Dan akumenelpon sambil menyetrika bajuku pula setelah kukeringkan. tepat 12.30 Aku selesai menyetrika baju peach kesayanganku dan kembali memakainya. Jujur saja, aku lebih suka memakai baju itu darpiada seragam.
Aku tak tahu sejak kapan Reynald berada di kamar. Aku melihatnya bersandar di pintu setelah membalikkan badan. Kuharap ia masuk setelah aku memakai baju bukan sebelum. Tapi dari wajah Reynald sih sepertinya sesudah aku memakai baju. Ia tampak biasa saja. Jadi aku berjalan santai dan melewatinya. Sungguh tidak sopan, pikirku. Ketika aku akan keluar dari kamar, Reynald menghentikanku. Aku terkejut. Otomatis aku memukulnya.
"Kau mengejutkanku lagi." Aku memasang raut merjaukku.
" Aku tidak bermaksud." Jawab Reynald mangangkat kedua tangannya. Aku mengangkat kepala dan bertanya: " Ada apa?"
"Ponselmu tertinggal" Ujar Reynald. Aku menepuk dahiku karena terlupa akan ponselku sendiri. Jadi aku segera mengambilnya.
"Tak kusangka kau benar- benar menungguku, Merly"
"Reynald, aku tak tahu jalan pulang. Jadi tentu saja aku menunggumu. Aku sendiri tidak tahu, aku ini dimana," elakku. Padahal sebenarnya dari tadi aku memang tidak pulang karena merapikan ruangan miliknya.
" Haha, kau ini perempuan yang sangat to the point ya. Kamu tak bisa diajak berbicara santai," jawab Reynald dengan terkekeh. Ia menghela nafas dan lanjut berbicara.
"Jadi, apa yang kamu lakukan pada rumahku?"
" Tak ada, aku hanya memakai kamar mandi, dan mesin cucimu. Aku juga memakai setrika sebentar dan merenova.." aku langsung menutup mulutku erat- erat.
"Apa? Merenova apa?" Jawab Reynald menyelidikiku. Aku menggelengkan kepalaku terus menerus dan menutup erat- erat mulutku meskipun ditanyai Reynald berkali- kali.
Akhirnya aku tak kuat lagi menutup mulutku ketika Reynald menggelitikiku. Aku tak kuasa menahan mulutku mengucapkan apa yang kurahasiakan kalau sudah digelitiki. Akhirnya, aku pun menunjukan hasil kerjaku. Reynald tak terlihat begitu takjub. Dia tersenyum dan sedikit salut si dengan hasil kerjaku. Reynald melepas kemejanya dan memeperbaiki beberapa tatanan yang salah. Aku hanya melihatnya.
Tak kuat berlama- lama melihat Reynald bekerja sendirian, aku pun berniat membantunya.
" Biar aku bantu ya , Rey" tawarku. Reynald sepertinya sedikit terkejut ketika aku memanggil namanya untuk pertama kali. Untuk beberapa saat, ia memandangku penuh arti.
" Tidak usah" jawab Reynald.
" Baikalah, katakan saja pa yang kau perlukan, biar aku siapkan."
Tapi Reynald mengabaikanku. Ia terlalu serius memperbaiki tatanan ruangannya dan pada akhirnya dia mengacuhkanku. Karena tidak dianggap, aku pun membuatkan teh untuknya. Aku juga menyiapkan beberapa kue untuknya. Kue buatanku sendiri lebih tepatnya. Sampai pukul 14.00 sore Reynald tidak makan apapun. Tak tahu harus apa, aku pun menyuapi Reynald. Meski Reynald tidak mau, aku tetap memaksanya makan karena sudah lewat jam makan siang. Reynald dengan mudah kusuapi. Ia pun menyerah dengan paksaanku. Sepertinya ia suka kue buatanku. Entah suka atau terlalu serius hingga lupa mengantarkanku pulang.  Aku terus menunggunya sampai aku tertidur.
Aku bangun larut malam. Aku terkejut menyadari aku terbaring di tempat tidur merah maron. Entah dimana aku. Aku memperhatikan tatanan kamar. Aku pun menyadari kalau aku ada di ruang santai Reynald. Aku melihatnya sedang memakai kacamata dan sibuk menggambar. Aku mengambilkannya selimut dan memakaikan ke bahunya. Ia memegang tanganku sebentar dan kembali bekerja. Meski ia memegang tanganku, matanya tetap tertuju pada desainnya. Entah kenapa aku tersenyum melihatnya. Entah pula sejak kapan aku mulai nyaman dengannya.
Ketika aku ingin menelpon ibuku dan ingin minta dijemput, Reynald menghampiriku.
"Aku sudah menelpon ibumu. Aku sudah memberitahunya kalau kamu akan menginap di sini 1 minggu"
Mataku terbelalak mendengarnya. 1 minggu!!!???. 1 minggu itu cukup panjang.
"Bagaimana bisa? Apa ibuku mengijinkannya?"
"Ya tentu saja. Ibumu percaya padaku"
"Aku tak percaya"
"Kau tak percaya padaku? Perlu kubuktikan kalau kamu akan aman di sini?" Jawab Reynald dengan nada sedikit usil. Aku masih tidak percaya kalau ibu mengijinkanku. Aku pun menelpon ibuku. Dan ternyata Reynald benar- benar sudah meminta ijin pada ibu.
"Aku juga sudah bertemu ibumu tadi"
"Aku masih ingin hidup"
"Memang kamu akan hidup. Siapa yang bilang aku akan membunuhmu?" Jawab laki- laki itu dengan terkejut.
"Bukan karena kamu. Tapi karena Kakak OSIS yang akan mengusiliku habis- habisan ketika aku masuk sekolah karena tidak ikut MOS. Aku bisa dihukum."
"Kalau itu, biar ibumu yang urus," kata Reynald santai sambil terkekeh. Aku sangat yakin kalau ia meledekku. Aku meninggalkannya lagi karena ia menertawakanku.
" Eh, kamu mau kemana Merly?"
" Pergi jauh darimu. Kau menyebalkan."
Reynald memelukku dari belakang karena aku merajuk padanya. Ia tersenyum dan memandangku penuh arti. Tangannya panas. Dan aku merasakan dahinya terasa panas. Aku menatapnya lekat- lekat. Aku merasa, ia memberikan tatapan yang berbeda kepadaku. Aku merasa ada suatu makna dari tatapannya itu. Seakan dia berbisik jangan pergi dariku untuk SELAMANYA. Kejadian tadi pagi terulang lagi hanay saja kali ini ebih dramatis. Reynald mendekatkan wajahnya perlahan- lahan ke wjahaku. Ia membuka bibirnya sedikit dan nafasnya tersenggal- senggal. Mukanya memerah dan ia mulai memejamkan mata. Secara perlahan Reynald pingsan dan menimpaku. Untung saja aku sudah siap siaga. Sepertinya Reynald kelelahan. Dia demam. Aku tak tahu apa saja yang ia lakukan sehingga bisa demam seperti ini.
Sebenarnya, banyak sekali yang ingin kutanyakan padanya. Tapi tidaklah mungkin menanyakannya pada Reynald sekarang. Aku berusaha sekuat tenaga untuk mengangkatnnya ke ranjang. Aku pun mengompresnya. Perlahan- lahan, aku merasa aku mulai menyukainya. Aku merasa pernah mengenalnya. Sosok yang sama ketika aku kecil. Tapi aku tidak begitu ingat dengan jelas. Aku merawatnya hingga ia kembali tertidur setelah mengigau. Aku tersenyum lebar ketika mendengarnya mengigau . Reynald berkata "Merlyana, Merlyana. Jangan pergi!! Jangan kesana!! Tetaplah bersamaku. Jangan pergi!!." Ia sedikit berteriak dan menitikkan air mata. Aku membelai kepalanya dan mengatakan kalau aku di sini. Ia sempat terbangun sejenak dan memelukku. Aku melihat kekhawatiran di wajahnya. Aku tak terbiasa dipeluk laki- laki. Ini pertama kalinya aku  dipeluk oleh orang yang baru kukenal. Tapi entah kenapa, aku merasa aman bersamanya. Aku semakin bingung. Ada apa sebenarnya. Dan mengapa ibu bisa dengan mudah percaya pada Reynald? Sungguh rumit. Sampai akhirnya, aku mulai mengantuk dan tertidur di sebelah Rey.
Pagi ini, berbeda dari biasanya. Aku berada di rumah Reynald bukan di rumahku. Dan tidak ada bunyi alarm berdering di pagi buta. Biasanya aku tidur sendirian. Pagi ini aku bangun, melihat wajah Reynald. Aku terbangun total setelah mengingat Reynald demam. Aku segera mengecek suhu tubuhnya dan membuatkannya sarapan. Aku membangunkannya pukul 08.00. Ternyata, Reynald susah sekali dibangunkan. Bahkan lebih mudah membangunkan seorang anak yang telah meminum obat tidur daripada membangunkan Reynald. Aku berbisik lembut  di telingannya menyebut namanya " Reynald. Pagi. Sarapan sudah siap. Aku di sini" Ajaibnya, dia bisa bangun dengan menyebutkan namaku. Di masih ingat kalau aku bersamanya. Sungguh menakjubkan. Aku terkesima dengannya dengan hal itu. Meskipun lemas, Reynald tetap berusaha untuk duduk sendiri. Ia tak perlu bantuanku untuk bersandar di dinding kasur. Aku memberinya bubur. Tapi dengan manja Reynald malah memintaku menyuapinya. Aku hanya menggelengkan kepala dan tersenyum gemas karena tingkahnya. Karena tak ada pilihan lain, aku pun menyuapinya. Ia bisa mengunyah makanan sambil memejamkan mata. Entah apa yang ia lakukan dengan memejamkan mata itu. Aku terus menyuapinya hingga bubur 2 porsi yang aku buatkan untuknya habis. Aku sunguh senang karena aku merawatnya bagai merawat orang yang sangat berarti bagiku.
Setelah makan, ia berdiri dan ingin mandi. Aku ingin melarangnya. Tapi tak bisa. Ini kan rumahnya, jadi terserah dia ingin melakukan apa. Aku hanya membantunya memakai baju saja. Karena ia masih lemas. Sejak tadi, Reynald tersenyum- senyum snediri. Entah apa yang ia pikirkan. Sebenarnya, aku ingin mandi. Tapi aku tak tahu harus pakai baju apa nanti. Ternyata Reynald cukup peka terhadap situasiku. Ia memberikanku baju miliknya. Karena tidak ada pilihan lain, aku pun menerimanya. Setelah mandi, akupun memakainya. Baju milik Reynald seakan dress mini bagiku. Tentu saja, tinggiku hanya 145 cm. Sedangkan dia, 186. Tentu saja baju ini seperti dress mini bagiku. Beruntungnya aku, baju ini masih bisa kupadukan dengan sabuk perakku. Sungguh seperti dress putih.
Ketika aku menampakkan diriku kepada Reynald, dia tampak tercengang. Pipinya bersemu merah ketika menatapku. Sepertinya, ia terpesona melihatku. Tapi aku bingung.
" Hello?" ucapku sembari melambaikan tangan di depan muka Reynald.
Reynald tetap terdiam memandangiku dari bawah sampai atas.
 " Wow. You're so beautifull" Reynald bergumam.
"Pardon me? Apa kamu mengatakan sesuatu? Apa aku terlihat aneh?" Tanyaku sambil memutar badanku berusaha mencari yang janggal pada penampilanku.
Reynald memegang bahuku. " Tidak nona. You look so perfect. Tidak perlu memutar- mutar badanmu seperti itu. Hanya saja.."
" Hanya apa?"
" Hanya saja, kamu terlihat seperti Nyonya Willson", pipi Reynald memerah lebih lagi setelah mengatakan pendapatnya tentang penampilanku. Mendengar perkataan Reynald, pipiku bersemu merah pula. Dan seketika, kami saling membisu.
Jam menunjukkan pukul 12.30. Suasana rumah ini terlalu sepi. Biasanya, jam segini di rumahku terdengar tawa canda anak kecil dan kicauan burung- burung. Di sini, hanya terdengar desiran angin dan daun- daun bergesekkan. Sungguh membosankan. Aku mencari- cari kertas HVS pun tidak ketemu. "Rumah macam apa ini! " Aku berdecak jengkel. Aku sudah mulai bosan. selembar kertas kosong pun tidak ketemu. Aku mengeluarkan pensil dan buku cadanganku. Terpaksa, aku harus menggunakannya.
Aku mulai menggoreskan pensilku diatas kertas. Aku mengingat kembali detail wajah Reynald Willson. Entah apa yang sedang ia lakukan sekarang. Aku hanya tertarik menggambar wajahnya. Aku mulai menggambar kerangka mukanya. Dan mulai menggambar detail setiap wajahnya. Aku menggambar sambil senyum- senyum sendiri. Aku tak sadar kalau aku terlalu asik menggambar. Sampai- sampai, aku tak sadar si Reynald Willson yang kugambar berada tepat di depanku. Ia mengamatiku. Aku mendangakkan kepalaku. Dan BAA!! aku terkejut. Aku terjungkal kebelakang. Wajahnya terlalu dekat dengan wajahku. Oleh karena itu aku menghindar dan terjungkal ke belakang dan terjatuh dari kursiku. "Auw" erangku.
" Apa yang kamu lakukan di bawah sana Merly? Kau suka di bawah?" tanya Reynald dengan tampang tak bersalah. Aku semakin sebal dengannya. Tapi mata hijau itu sanggup meredam emosiku pada sang pemilik mata itu. Aku memutuskan tak mau berlama berbaring di lantai. Dan sialnya aku, aku tak bisa berdiri.
" Butuh bantuan Merly?" Ujar Reynald menjulurkan tangannya berniat untuk menolongku.
" Tidak. Tidak perlu membantuku. Aku bisa berdiri sendiri" Aku meraih kursi di sebelahku dan mengangkat badanku dan menahan sakit.  Aku merasa, kesialanku berlipat ganda setelah menolak bantuan dari Reynald. Aku terpeleset oleh kertas buku cadanganku sendiri. Dan kali ini, Reynald tidak membiarkanku terjatuh ke lantai lagi. Ia menangkap badanku dengan gesitnya dan langsung mengangkat badanku. Ketika itu, aku tak menyadari apa yang terjadi. Otakku sungguh lola untuk menanggapi apa yang sedang terjadi. Aku hanya merasa tubuhku mengambang.
" Kau menggendongku?!" teriakku.
" Tentu. Dengan keadaan seperti ini, kuyakin kamu tak bisa berjalan untuk beberapa saat" jawab Reynald dengan tenang. Ketika aku ingin menyangkalnya, otakku kembali berputar. Benar juga kata Reynald. Tak peduli seberapa tinggi gengsiku, tetaplah pemikiran Reynald yang selalu masuk akal. Akhirnya akupun pasrah.
Reynald Willson menggendongku dan menurunkanku ke sofa empuk di ruang santai miliknya. Aku ingin turun dari gendongannya. Tapi tanganku tak mau melepaskan pelukannya dari leher Reynald. Reynald terheran akan tingkah lakuku. Akhirnya Reynald tak jadi melepaskan gendongannya dariku. Perasaanku bercampur aduk. Aku merasakan ada perasaan hangat di dadaku. Tapi aku juga menyesal tidak melepaskan pelukan tanganku di lehernya. Aku takut Reynald terlalu letih menggendongku. Lamunanku terbuyarkan oleh suara berat Reynald yang berdengung di telingaku.
" Jadi, berapa umurmu?"
"Hm?"
"Berapa umurmu"
" 15, kenapa?"
" Berapa berat badanmu?"
Aku terdiam menanggapi pertanyaan Reynald. Dan ia terkekeh.
"Biar kutebak. 48 kg? Benar?" Reynald tampak sangat yakin. Dan aku mengangguk jujur karena tebakannya sangat tepat.
" Bagaimana kamu bisa tahu?"
" Aku bisa menebaknya. Bukankan sekarang kamu berada di gendonganku. Tentu aku bisa menebaknya." Reynald sedikit melempar badanku ke atas lalu menangkapku kembali. Jujur saja, aku terperanjat dan hampir berteriak. Sebenarnya bukan hanya hampir, tapi aku berteriak cukup kencang. Reynald tertawa keras- keras dan mendekapku erat- erat. Aku memandangi Reynald yang sedang tertawa. Senyumku ikut mengembang mendapatinya tertawa saat bersamaku.
Aku tak tahu ia akan membawaku kemana. Ia menurunkanku di bangku mobil sebelah kemudi. Reynald beralih ke kemudi monbil. Entah ia akan membawaku kemana.
" Eh Rey, mau kemana? " Tanyaku.
 Bukannya menjawab pertanyaanku, ia sibuk mengutak- atik ponselnya. Setelah itu isa melaju keluar rumah dan menyalakan audio mobil cukup keras. Mobil pun melaju ke kota. Pertama- tama, aku memanggilnya. Lalu ia menaikan volume musik 1 tingkat lalu menurunkannya kembali. Kukira dia sudah selesai mengatur volume audio. Dan ternyata dugaanku salah. Bahkan semakin aku memanggilnya, semakin sering Reynald memainkan volume audio musik mobil. Pada akhirnya, aku jengkel setengah mati. Aku berteriak kencang memanggil namanya. Ia malah tertawa terbahak- bahak. Sementara itu pengemudi kendaraan lain yang berada di sekitar menoleh ke arah kami dengan tatapan heran. Aku menutup mulutku seketika. Tapi tidak dengan Reynald. Ia masih tertawa meski sudah tidak terbahak- bahak lagi.
Perjalanan yang kutempuh kira- kira 2 jam. Aku benar- benar tidak peduli dengan tujuan kami. Aku masih duduk terdiam memandang keluar jendela. Aku mendiamkan Reynald selama perjalanan. Meski aku mendapati Reynald Willson mengamatiku, aku tetap mengacuhkannya. Biar dia tau rasa sekali- sekali batinku. Mobil terhenti sejenak di pinggir jalan. Hari sudah malam. Dan Reynald meninggalkanku sendiri di dalam mobil. Aku diam saja menanggapi hal itu. 10 menit, 15 menit, 20 menit, hingga 25 menit Reynald belum kembali. Aku semakin khawatir padanya.
Aku segera turun dari mobil dan mengamati sekitar. Aku hanya menemukan beberapa rumah sederhana bertengger di sudut jalan. Aku memberanikan diri untuk menghampiri rumah kecil terdekat. Dan ketika aku mengetuk pintu, rumah itu seperti tak berpenghuni. Aku bisa mendengar suara obrolan kecil dari dalam rumah. Tapi tak ada yang membukakan pintu. Angin bertiup pelan dan sangat dingin. Dinginnya tiupan angin menusuk kulitku. Aku memutuskan untuk masuk kembali ke dalam mobil. Ketika perjalanan ke mobil, aku merasa sosok manusia tinggi dan tegap mengikutiku. Aku sama sekali tidak mempedulikannya. Tapi, perlahan- lahan aku mendengar langkahnya semakin mendekat. Akhirnya Kuputuskan untuk lari menuju mobil . Namun, langkah sosok tinggi itupun menyusulku.  Aku sedikit curiga dan berlari semakin cepat.
Aku segera memasuki mobil dan menutup pintu erat- erat. Pintu mobil bagian kemudi terbuka dan menutup dengan cepat. Aku langsung membelakkan mata. Sebuah tangan hangat menyentuhku. Aku merinding dan berusaha menghilangkan kekhawatiranku.
"Merlyana? Ada apa? Kenapa tadi kamu berlari ketika aku mengejarmu"
"Reynald? Itu kamu?"
"Iya, ini aku. Reynald Willson yang tampan"
Mendengar nada itu aku segera menoleh dan memegang tangannya seerat mungkin. Tanganku sangat dingin. Tentu saja aku gugup karena merasa dikejar oleh orang tak kukenal.
"Jadi kamu yang mengejarku tadi?"
"Tentu saja. Kamu kira siapa? Tidak ada siapapun di jalan ini selain aku dan kamu dan penghuni rumah. Kamu ini..."
Aku mengehela nafasku. Beberapa detik kemudian aku merasakan kedua tangan Reynald berada di pipiku.
" Aku menghangatkanmu. Dan pakai saja baju hangatku. Ada di belakang." ujar Reynald menunjuk ke arah bangku belakang.
 Aku berpindah ke bangku belakang dari celah antara 2 bangku depan. Tentu saja aku enggan pergi ke luar mobil dengan kondisi suhu sedingin itu .
"Ya terima kasih" ucapku . Aku segera memakai baju hangat Reynald yang sangat kebesaran untukku dan kembali ke bangku depan.
Raynald memandangiku lagi. " Kamu cocok memakainya". Aku hanya mengangkat bahuku dan menekuk kedua kakiku hingga aku bisa memeluk kedua kakiku. Reynald mnurunkan kursiku sehingga sejajar seperti ranjang. Mataku terpejam dan aku pun beristirahat. Aku terbangun ketika mataku merasakan hangat cahaya mentari. Aku melihat Reynald masih menyetir. Kurasa, ia tidak beristirahat dari kemarin.
" Selamat pagi Merly."
" Pagi Rey. Kamu tidak tidur?"
" Tidak. Kamu masih merajuk padaku?"
"Tidak"
" Kamu ingin makan?
" Tidak"
" Hei, aku menanyaimu dan kamu hanya menjawab tidak"
" Aku memang tidak mau makan dan sudah tidak merajuk padamu" jawabku ketus.
" Lalu kenapa mukamu seperti masam sekali seperti itu?"
" Tidak. Aku biasa saja tuh."
Semejak itu, kami saling membisu. Aku melihat pemandangan dari dalam mobil dan Reynald menyetir. Sesekali aku menengok ke arahnya. Dan dia selalu saja menyadarinya. Tapi aku punya alasan untuk tidak ketahuan sedang melihat dia. Gampang, tinggal bilang saja melihat pemandangan di sebelahnya. Dengan alasan begitu, dia hanya bisa terdiam. Tiba- tiba aku merasa perutku perih. Dan aku juga mual. Aku tidak bisa menahan tanganku untuk meremas perutku dan menutup mulutku menahan muntah. Reynald langsung meminggirkan mobil melihatku dalam kondisi seperti itu.
" Merly, kamu kenapa?" Rey terlihat panik. Aku tidak bisa menjawab apapun karena menahan sakit juga. Rey membukakan pintu untukku keluar. Aku langsung memuntahkan isi perutku. Rey menggosok punggungku. Setelah beberapa menit terlewati, akhirnya selesai juga. Aku mendadak lemas dan tidak kuat berdiri. Aku langsung ambruk ke belakang. Reflek Rey cukup cepat. Ia langsung menangkap tubuhku dan membawaku masuk ke dalam mobil. Ia membawaku ke rumah penduduk. Sepertinya Rey kenal dengan mereka. Aku dipapah ke dalam rumah dan ditidurkan di sofa. Aku tidak bisa menolak karena kondisiku yang memang tidak berdaya untuk saat ini.
Reynald beranjak dari sebelahku dan ingin keluar rumah. Aku langsung menangkap dan menggenggam erat tangannya agar jangan pergi. Reynald tersenyum lembut ke arahku dan kembali berada di sebelahku. Ia mengelus- elus kepalaku dan mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku terkejut dan tidak tahu apa yang aku dia lakukan. Tiba- tiba dia mengecup keningku dengan lembut. Aku memegang wajahnya dan menatap matanya dalam- dalam. Aku menyentuhkan dahinya ke dahiku. Aku memejamkan mata dan tersenyum. Setelah itu,  aku membuka mataku dan mendapati mata hijau Reynald itu melihat wajahku sangat dekat. Pipiku langsung bersemu merah dan memalingkan wajahku. Rey langsung tertawa.
" Apa yang kamu tertawakan?!"
" Tidak ada?" Sahut Rey menahan tawanya sambil mengerlingkan mata. Aku menariknya dan menggelitikinya sampai ia menjawab. Reynald tertawa karena geli sangat keras. Ia meronta kegelian. Dan kakinya menghantam meja kayu yang berada di dekatnya. Ia langsung terdiam. Tawanya yang menggelegar tadi tergantikan dengan ringisan kesakitannya terjedot meja kayu yang sangat keras. Pemilik rumah langsung menuju ke tempat kami berada karena mendengar suara keras. Kami hanya cengingisan karena sudah membuat pemilik rumah tergopoh- gopoh.
" Rey, kakimu tak apa?" tanyaku sambil merasa sangat bersalah.
" Tak apa Merly. Meskipun sakit, paling tidak aku bisa menghhiburmu" Jawab Reynald sambil berusaha kuat menahan kesakitannya.
" Oh. Kamu baik sekali," jawabku.
 Rey meninggalkanku dan masuk menemui sang pemilik rumah. Tak lama kemudian Rey muncul kembali dan langsung mengangkat tubuhku begitu saja dan membawaku menuju mobil. Rey kembali membuat jantungku berdebar- debar.
" Rey kenapa kamu selalu memapah tubuhku seperti ini. Ini bukan yang pertama kalinya lho, " Ujarku pelan.
" Apa kamu tidak suka?" Rey balas bertanya dan bersiap- siap menurunkanku.
" Tidak! Aku suka! Bukannya begitu..." sahutku mengeratkan tanganku yang berada di lehernya. Aku terkejut mengatakan hal itu terang- terangan. Aku langsung menutup mulut dengan salah satu tanganku. " Turunkan aku," Kataku pelan sambil menahan malu.
" Tidak mau. Bukankah kamu sendiri yang bilang kalau kamu suka. Sudahlah ayo kita ke mobil. Tinggal beberapa kilometer lagi kita sampai."
" Sampai kemana?"
" Rahasia"
" Rey pelit!!" erangku sambil meledknya. Aku menjulurkan lidahku mengejeknya.
" Aku pelit apa?"
" Pelit informasi!" Aku menjawabnya sejenak dan menggembungkan pipiku seperti anak kecil yang merajuk. Tapi Rey tidak mempedulikanku. Dan akhirnya aku tak me;anjutkan menggembungkan pipiku lagi karena pipiku kesemutan. Jika kuperhatikan, cahaya mata Rei tak seterang kemarin. Dan kantung matanya sedikit hitam.
Kami melanjutkan perjalanan kira kira 1 jam dan mobil berhenti di lahan kosong. Aku melihat pantai yang sangat indah dan sangat sepi. Aku takjub dengan pemandangan itu. Aku langsung memakai sandalku dan keluar dari mobil. Aku berlari menuju pantai dengan perasaan damai. Rey masih mengunci mobil dan lain sebagainya. Jadi kurasa terlalu lama menunggunya. Rey berjalan santai menuju ke arahku. Aku menunjuk- nunjuk ombak laut dan memanggil Rey dengan keras. Rey berlari menuju ke arahku setelah meletakkan beberapa barang. Ia menggendongku cukup tinggi dan berputar. Aku tertawa senang. Karena sudah lama aku tidak dibegitukan. Aku mengingat kembali masa lalu.  Aku hanya pernah digendong dan berputar seperti ini ketika aku bersama dengan orang yang aku sayangi ketika aku kelas 6 SD. Tapi aku berpisah dengannya. Tawaku berhenti ketika mengingat perpisahanku dengan orang yang aku sayangi 3 tahun silam.
Rey menyadari perubahanku. Ia berhenti berputar dan menurunkanku. Aku turun tanpa berkata apapun dan mendekati pantai. Aku masih ingin menangis ketika mengingat kejadian itu. Aku menangis sambil terpejam sembari menikmati hembusan angin. Aku merasa desiran pantai dan deruman ombak yang menghantam karang mengerti tangisanku. Terpaan angin seakan membawa tangis sedihku. Aku terdiam cukup lama. Lalu aku mencari Reynald. Aku mendengar bunyi kamera di belakangku. Ternyata Reynald mengambil fotoku. Aku terkagum dengan hasil fotonya. Ia bisa mendapatkan momen yang tepat ketika memfoto ku.
" Kenapa kamu menangis Merly"
" Tidak apa. Hanya kenangan yang kembali"
" Ceritakan padaku Merly. Apa yang terjadi sehingga kamu begitu sedih?" Rey duduk dan membirkanku tiduran di pantai dan memakai pahanya sebagai alas kepalaku. Aku memejamkan mata dan kenangan itu kembali dan membuat urutan cerita. Aku menceritakan semua yang terjadi kepada Rey. Tangan Rey dengan lembut menghapus air mataku. Aku memegang tangannya yang menyentuh pipiku. Aku menghela nafas panjang menenangkan diri.
Aku terkejut ketika membuka mata. Aku melihat wajah Reynald berada di dekatku dengan keadaan terpejam. Wajahnya juga tampak murung. Ketika aku bertanya, Reynald menggelengkan kepala dan tidak berkata apapun. Ketika membuka mata, Reynald menghapus air matanya. Entah apa yang terjadi dengannya.
" Rey, kamu kenapa?"
" Tak apa Merly"
" Apa kamu mencintai pria itu?"
" Siapa??"
" Laki- laki yang meninggalkanmu 3 tahun lalu."
" Ya, sangat mencintainya. Tapi dia meninggalkanku tampa berkata sepatah katapun padaku. Aku sedih karenanya. sampai 3 tahun lebih berlalu pun aku tidak bisa melupakannya"
" Seberapa berharganya dia untukmu? Seberharga itukah dia untukmu?"
" Sangat- sangat berharga. Dia seperti seorang sahabat hidupku. Setiap detik aku mengingatnya. Dan hanya dialah yang ada untukku ketika ibu sedang pergi bekerja menggantikan posisi ayah."
" Lalu?"
" Ia memberiku tempat tinggal ketika aku tak punya. Dia memberikanku kasih sayang ketika aku membutuhkan. Ia memberiku arti hidup ketika aku tak merasa berarti. Dan dia..."
" Apa?"
" Dia bagaikan anugerah dari Tuhan untukku. Dia seperti dikirim oleh Tuhan untukku. Karena dia juga menuntunku kembali pada jalan Tuhan. Dan memberikan banyak hal dalam hidupku selama aku kecil. Ya, sampai dia meninggalkanku tentunya"
" Setelah itu bagaimana denganmu?"
" Aku hanya diam dan berharap dia kembali sampai 3 tahun. Meskipun tidak mungkin, aku tak berhenti berdoa dan berharap dia kembali."
" Bila dia tidak kembali, maukah kamu membuka hati untuk orang lain?"
" Belum terpikir dalam benakku. Tapi kalau lelaki itu mirip dengamu, aku mau- mau saja" Jawabku sambil tertawa menggodanya. Wajah Rey memerah. Ia tampak malu- malu terpana. Ekspresi Rey sungguh lucu.
Angin bertiup membuat rambutku tergerai kemana- mana. Dan cahaya sang surya menyinari wajah Rey, membuat mata hijaunya sungguh indah. Seketika itu juga, aku mengingat sosok laki- laki yang kucintai yang bersamaku kala itu. Kalau kuperhatikan, ia mirip dengan Rey. Hanya saja aku tak ingat namanya. Kuharap, laki- laki itu tumbuh menjadi pria seperti Rey. Jika diperkirakan dengan baik, seharusnya umurnya dengan Rey menginjak angka yang sama.
" Rey, maukah kamu berfoto denganku? Ini bisa menjadi kenanganku tentangmu. Supaya aku tidak melupakanmu suatu hari nanti," kataku sambil menarik lengan bajunya perlahan- lahan.
" Sebenarnya aku tidak suka foto. Tapi kalau berfoto denganmu, aku tidak keberatan."
" Bisakah kamu saja yang memegang kameranya? Tanganmu kan panjang?"
" Benar juga. "
Aku dan Reynald berfoto ria. Aku memakai banyak gaya foto bersamanya. Hanya saja, Rey tidak menunjukkan raut muka yang berbeda setiap fotonya. Reynald kaku sekali ketika foto. Aku tertawa- tawa sendiri melihat hasil foto.
" Rey, pinjam kameramu ya? Aku ingin melakukan banyak hal"
" Baiklah"
Tampa ia sadari, aku memfoto Rey sembunyi- sembunyi. Banyak foto yang telah kuambil. Dan semua hasilnya sungguh bagus. Rey sangat tampan. Dengan postur tubuh ideal dan tinggi 186 cm itu, Rey seperti seorang model. Aku terkejut ketika Rey melihat kamera dan tersenyum. Tentu saja aku tidak akan melewatkan momen emas tersebut. Aku segera menekan tombol menggambil gambar secepat kilat dan mendapatkan foto Rey tersenyum kepada kamera.
Rey duduk di sebelahku dan tampak mengantuk. Aku memanfaatkan momen itu untuk mengambil wajah uglynya. Alhasil, aku mendapatkan banyak foto ketika ia tertidur di sebelahku. Ia berbaring di atas pasir- pasir pantai yang lembut. Aku sempat mengambil foto bersamanya. Dan hasilnya lumayan bagus juga. Aku merasa nyaman di dekatnya. Aku senang dan bahagia ketika bersamanya. Dia juga bisa membuat jantungku berdegup kecang. Oh tidak, apa ini tandanya aku mulai menyukai Reynald?? Aku teringat kejadian ketika ia menyebutkan " Nyonya Willson". Mukaku langsung memanas dan bisa kupastikan mukaku memerah.
Entah sejak kapan, kepala Reynald bersandar di bahuku. Pantas saja bahuku terasa berat. Kukira, aku masuk angin. Ternyata ada satu sosok pria berat bersandar padaku. Aku berkata- kata dalam hati sambil tersenyum- senyum sendiri. Aku mengambil fotonya lagi tentunya. Aku sangat senang karena mendapatkan banyak foto Reynald. Aku membaringkannya di sebelahku. Dan aku juga berbaring di sebelahnya. Badannya menghadap utara dan badanku mengahadap selatan. Tetapi muka kami bertemu dan saling bertatapan. Rey membuka matanya dan tersenyum tulus padaku. Aku teringat kejadian pertama kali kami bertemu. Sampai ia menggodaku, membuatku jatuh, memapah tubuhku, sampai memelukku dan sekarang berada di sisiku. Dia menemaniku seperti yang dilakukan laki- laki masa lalu itu padaku. Ia terbangun dan duduk di samping tubuhku yang berbaring. Ia bergurau banyak denganku di pantai itu.
" Apa kamu sudah tidak mengantuk Rey?"
" Sudah tidak tentunya," Jawab Rey sangat yakin.  Sementara itu, aku tertawa kecil menyembunyikan sesuatu.
" Apa yang kau tertawakan, Merly? Apa aku lucu? Ada yang aneh dengan ku?"  Tanya Rey kebingungan.
Reynald mulai usil lagi. Setelah energinya terisi penuh setelah tidur 1 jam di bahuku, ia mulai mengerjai dan menggodaku lagi. Aku bermain air dengannya. Aku juga sempat mengubur setengah badannya dalam pasir dan membuatnya seakan menjadi mermaid. Aku mengabadikan bayak momentum- moementum kemenanganku mengerjainya.
Bajuku basah kuyup. Sementara baju Rey yang kupakai cukup tipis. Kejadian dulu terulang kembali. Sama seperti ketika aku mencuci piring di rumahnya. Kali ini, dia tampak biasa saja. Ia tidak menggodaku atau mentertawakanku. Rey malah memberikan bajunya yang sudah ia lepas sebelum bermain air kepadaku. Aku terselamatkan. Dia mengajakku ke Guess House yang berada di dekat pantai. Ia memberikanku baju yang sangat  bagus. Aku sangat menyukainya. Tapi entah kapan ia membelinya.
Aku dan Rey bertemu kembali di pesisir pantai sebelum matahari terbenam. Rey mengajakku naik perahu boat menuju tengah laut untuk menikmati sunset. Sungguh indah pemandangan sunset dan laut ketika aku berada di tengah laut hanya beruda dengan Rey. Tak lupa aku mengabadikan sunset dan kejadian di perahu. Tak lama setelah matahari benar- benar tenggelam kami memutuskan untuk kembali ke pantai. Kami makan malam romantis di dekat pantai. Aku sungguh menikmatinya. Rey seperti ingin membahagiakanku. Tapi ada hal yang kubingungkan. Aku tak mampu menahan rasa penasaranku.
" Rey, sepertinya kamu sungguh mengenal tempat ini?"
" Ya, lumayan,"
" Seakan kamu pemilik tempat ini. Seakan- akan pantai ini menjadi tempat privasimu,"
" Ternyata kamu menyadarinya juga ya Merly" jawab Rey sambil meringis.
" Jadi aku benar?" Aku membelalakkan mata.
" Yes you're right beauty," jawab Rey sangat santai.
Aku membelalakkan mata. Bagaimana bisa, sebuah pantai menjadi tempat privasi bagi 1 orang saja. Memiliki tempat tinggal, boat, restoran pribadi. Astaga! Siapakah dia?
" Ehem, Rey bolehkah aku menanyakan hal pribadi?"
" Nanti saja setelah makan, kita jalan- jalan sambil berbicara. Habiskan dulu makananmu Merly"
" Ya Reynald Willson. Gayamu berbicara seperti ibuku yang berbicara saja"
Setelah makan malam, Reyald membawaku ke tempat yang sangat indah. Ternyata, di pantai ini juga ada rumah pohonnya. Rumah pohon yang sangat minimalis dan keren. Aku menyukainya.
" Lalu, Merly. Apa yang ingin kau tanyakan?"
" Oh iya. Sebenarnya, kamu siapa? Kenapa kamu bisa memiliki tempat privasi seperti ini? Dan entah perasaanku saja atau memang penataan ini sama persis dengan kenangan masa kecilku bersama laki- laki itu."
"Um tentang itu, aku bukan siapa- siapa. Aku sama seperti pria lainnya. Aku pernah menetap di Indonesia dan pergi ke luar negeri untuk melanjutkan studi ketika SMP. Ayahku berkerja di luar negeri. Jadi aku harus ikut dengannya. Aku harus meninggalkan Indonesia tanpa mengabari orang yang kusayangi sekalipun. Karena kabar kepergianku sangat mendadak dan tidak bisa ditunda."
" Lalu, apakah kamu pernah bertemu dengan orang yang kau sayangi itu?"
" Sudah, tak lama ini aku menemukannya"
" Apakah dia cantik sepertiku? Dia seorang model? atau apa?"
" Ya dia sangat cantik sepertimu. Dia bukan seorang model. Dia hanya gadis yang baru menginjak bangku SMA.Tapi aku masih sangat menyayangi dan mencintainya sama seperti dulu"
" Wow, kamu setia ya? Apa dia tahu kalau itu kamu?"
" Belum, dia belum tahu."
" Kenapa kamu tidak memberitahunya??"
" Aku akan memberitahunya sebentar lagi"
" Oh baiklah" Ujarku perlahan. Jujur saja, aku merasa kalau aku akan berpisah dengan Rey sampai di sini. Ia harus kembali pada orang yang ia cintai.
Rey menuntunku turun dari rumah pohon. Dan aku merasakan tangannya sangat hangat dan lembut. Ia menuntun dan menjagaku secara perlahan. Aku melihat sisi lain Rey saat ini. Biasanya dia usil dan suka menggodaku. Ia tidak terlihat penyayang sama sekali. Namun sekarang, Rey tampak sangat polos dan penyayang. Ia seperti sosok kakak sekaligus pelindung yang sangat lembut.
" Merly, ijinkan aku menggendongmu sampai ke pantai dekat pelabuhan, boleh?"
" Bukankah itu jauh? Tidakkah kamu akan lelah setelah menggendongku?"
" Tidak akan"
Karena jawaban Rey yang sangat meyakinkan, aku mengiyakan tawarannya. Ini bukan pertama kalinya Rey menggendongku. Tapi aku merasa seakan kehangatan menyelimuti kami berdua.
" Rey, tidakkah kamu merasa ada sesuatu yang berbeda?"
" Kurasa begitu" Rey menjawab sambil tersenyum penuh arti.
Aku melingkarkan tanganku di lehernya. Tak peduli esok Rey akan menjadi milik siapapun itu. Aku mengakui kalau aku menyayanginya sekarang.
" Rey aku menyayangimu" aku langsung mengutarakan apa yang ada di benakku tanpa berpikir 2 kali. Dan sepertinya Rey tidak mendengarku.
Tak terasa, kami sudah sampai ke pantai dekat pelabuhan. Aku tidak menyadari kalau di sekitar kami ada lilin yang belum menyala. Rey menurunkanku dan menyalakan lilin satu- persatu. Setelah semua lilin menyala, aku terkejut karena lilin itu membentuk pola hati dan ada namaku di sana. Aku menutup mulut karena terharu dan terkejut. Aku menatap Reynald tidak percaya dengan apa yang terjadi. Ia menggendongku ke tengah susunan lilin membentuk hati itu dan memangkuku. Dan Rey bercerita:
" Merly, ingatkah 4 tahun lalu? Tepat 1 tahun sebelum laki- laki masa lalumu meninggalkanmu? Di pantai, ia memelukmu. Ia memangkumu seperti yang kulakukan sekarang. Si laki- laki menemanimu sepanjang hari. Tidakkah kamu terpikir kalau kamu akan berpisah dengannya?"
Aku hanya menggeleng menjawab pertanyaannya.
" Ia bernyanyi untukmu. Bermain gitar dan kamu bernyanyi. Kalian saling mencintai kan?"
Dan aku mengangguk.
" Ia meninggalkanmu pergi entah kemana tanpa kabar." kata Rey sambil mengelus rambutku.
Aku menyenderkan kepalaku di dadanya. Aku mencari posisi yang hangat. Menyadari itu, Rey memelukku dari belakang sambil duduk dan bercerita. Aku merebahkan tubuh ke belakang, membiarkanku berdekatan dengan Rey. Aku mencermati ceritanya baik- baik. Dan akhir kata, Rey bercerita kembali.
" Kisah hidupmu sama seperti aku yang sebagai laki- laki masa lalumu itu. Bukankah tadi aku bercerita padamu tentang perempuan yang aku tinggalkan tapi aku tetap mencintai dan menyayanginya? Dan aku telah menemukannya tak lama ini. Dan itulah kamu. Merlyana kecilku."
Air mataku berlinang mengetahui hal itu. Aku memutar badanku dan memeluknya erat- erat. Aku mendorongnya dan memeluknya. Rey terjungkal ke belakang dan akumenangis bahagia telah bertemu lagi dengan laki- laki masa lalu yang sangat kucintai. Rey balas memelukku dan membelai kepalaku.
" Rey, kamu sudah menyadari hal ini sejak kita bertemu? Dan kamu tidak memberitahuku?"
"Ya dan ya"
" Kenapa?"
" Karena aku perlu mendatangi ibumu terlebih dahulu. Dan sebelum aku mencarimu, bukankah kita sudah bertemu? Dan kamu tidak mengenaliku. Bahkan kamu bilang aku SKDD"
" S- K - S- D Rey.. Bukan SKDD"
" Ya apalah itu."
Kami tertawa bersama.
" Kamu menyukai kejutanku?"
" Sangat menyukainya."
" Jadi.."
" Jadi apa??"
" Kamu tidak tahu apa yang ingin kutanyakan padamu?"
" Tidaklah Rey. Aku bukan peramal"
" Haish Merly. Kamu ini polos sekali"
" Tentu saja, aku kan masih 15 tahun"
" Baiklah kalau begitu. Maukah kamu menjadi pasangan hidupku?"
" Aa-a-a.." Mulutku kelu untuk berkata- kata karena aku terlalu bahagia dan masih shock.
" Ya aku mau" jawabku bahagia dan sedikit malu- malu.
Rey memelukku sangat erat.
" Aku akan menunggumu2 tahun lagi untuk benar- benar menjadi pasangan hidupku"
" Kenapa 2 tahun?"
" Bukankah kamu masih harus menikmati masa SMA mu? Apakah tidak terlalu cepat jika langsung menikah?"
" Tidak" sahutku tanpa pikir panjang.
" Benar kah? Nanti setiap pagi dan setiap waktu kamu akan selalu melihat wajahku loh"
" Lalu? Kenapa?"
"  Baiklah ayo kita bicaraka pada ibumu"
" Ibu di sini?!!"
" Tentu dia di sini. Dia di sana" Rey menunjuk ayunan di sebelah pohon besar dekat Guess House .
Aku berlari memeluknya. Ternyata, ibu juga sudah tahu. Ibu juga telah mengurus semua urusanku di sekolah dan lain sebagainya. Dan ibu merestui hubunganku dengan Rey.
Tidak semua perpisahan tanpa alasan. Terkadang kenangan masa lalu yang belum terselesaikan bisa terselesaikan tanpa disadari. Cinta dan kasih yang sejati akan abadi. Dan kesetiaan akan mendapat balasan.



Rabu, 15 Maret 2017

Ini Adalah Tugas TIK


Ini adalah hasil dari tugas Prakaryaku.

Aku diharuskan juga untuk membuat gadget dari pihak ke3.

Pertamannya, aku tidak mengerti. Dan ternyata, caranya cukup simple.

Dengan mengcopypaste html blog lain dari "view page source" ke Add Gadget, HTML/ Java Scripyt pada Layout. Dan pertinjau.

Dan animasi hewan kuning di kiri itu, juga tugas. Lucu juga sih... ☻
Aku tidak terpikir menambahkan animasi itu pada blogku sebelumnya.

#HaveANiceDay!!!

Rencana

Hai. Kurasa blg ini akan kuubah menjadi blog sebuah cerpen- cerpen dari imajinasiku

maaf karena lama tidak memposting . Hal tersebut karena aku sedang menghadapi masa- masa simana diharuskan belajar, Karena akan menempuh ujian untuk standart kelulusan SMP ku,

SEE YOU NEXT TIME!

☺☻☻☺☻☺☻☺

Rabu, 04 Januari 2017

Tahun Baru

HAPPY NEW YEAR ALL.

SELAMAT TAHUN BARU 2017 .

Readers pasti punya banyak harapan di tahun yang baru bukan? 

sebelumnya, saya minta maaf karena tidak mengepost cerita sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Ad masalah dengan internet di rumah. Dan karena waktu belajar harus semakin ditambah perihal dekatnya tempo ujian, saya tidak akan rutin menambahkan pos di sini.
Saya mohon pengertiannya.

Semoga Hari Kamu Semua menyenangkan. Semoga di tahun yang baru ini, berkat rahmat dari Allah melimpah selalu. AMIN.


Kamis, 30 Juni 2016

Part 2. Siapa itu Brian

[Niyan]
Waktu memang tak kan pernah berhenti. Bumi pun akan selalu berputar. Biasanya aku (Niyan) dan Riyan selalu pergi ke sekolah berdua. Tetapi hari ini, aku dan Riyan pergi bersama satu anak kecil dengan gelak tawa yang selalu menghiasi perjalanan kami. Hari ini, Brian akan memasuki sekolah dasar. Sekolahnya memang kami percepat. Pada umumnya, anak- anak akan menginjak bangku 1 SD ketika berumur 6 tahun. Sementara, Brian masih berumur 5 tahun. Menurut pengamatanku, Brian termasuk anak yang aktif tetapi tidak hiperaktif , cepat tanggap dan cerdas. Jadi, tidak menutup kemungkinan kalau Brian akan masuk SD lebih cepat dari anak sepantarannya. Riyan juga setuju dengan pendapatku.
Aku meminta tolong salah satu asisten pribadiku untuk menguruskan pendaftaran ke sekolah baru Brian. Nama asisten itu adalah Mona. Ketika kami sampai ke depan sekolah Brian, kami serahkan adik kami kepada Mona. Mona adalah asisten yang kami percayai meski ia adalah asisten baru. Mona juga telaten dalam mengurus Brian. Brian cukup akrab pula dengan Mona. Sekarang, giliran aku dan Riyan yang harus menjalani hari sekolah.
Aku dan Riyan hari ini berangkat sekolah dengan berjalan kaki. Kami memang sengaja agar kami bisa sekalian jalan- jalan dengan Brian. Ketika aku dan Riyan melewati pembatas pagar sekolah, banyak siswa- siswi yang terheran melihat kami tidak menaiki kendaraan pribadi kami. Seperti biasa teman Riyan dengan seenaknya merangkul Riyan dan membawanya mengobrol. Ku perhatikan wajah Riyan yang tiba- tiba berubah menjadi datar menghadapi teman- temannya. Ku amati wajah teman Riyan satu per satu. Yah, Riyan benar tentang kemauan teman- temannya mendekatinya. Lihat saja, mereka tertawa lebar dengan maksud tertentu. Kecuali satu orang, yaitu Dista. Dista memang teman dekat Riyan sejak masuk SMA. Dan Dista tak mengharapkan apapun dari Riyan.
Aku lebih memilih untuk membaca buku yang belum terselesaikan kemarin. Aku membaca sambil berjalan menuju kelas. Tenang saja, aku sudah terbiasa berjalan sambil membaca buku. Aku berjalan memasuki kelas dan menuju bangkuku. Aku baru saja ingin merebahkan tubuhku di kursi. Sudah terdengar teriakan tepat di telingaku:” Pagi Niyan!!Kamu cantik sekali pagi ini?!”. Aku sedikit terlonjat dan menoleh sambil membenahi letak kacamataku yang tergeser dari tempatnya. Siapa lagi kalau bukan Rina yang merupakan teman dekatku.” Santai saja Rin kalau berbicara, telingaku juga masih ditempatnya. Tidak usah teriak tepat di telingaku dong. Kau mengagetkanku” sahutku sambil setengah manyun. Yang kudapati hanyalah senyuman lebar dari Rina. Dengan melihat wajah Rina yang berseri- seri menandakan ada sesuatu hal yang ingin dia tanyakan atau diberitahukan padaku. “Ada apa Rin? Kok tersenyum selebar itu?”tanyaku menelaah ekspresinya. Rina terkejut mendengar tanggapanku yang cepat itu. Muka Rina tiba- tiba berubah menjadi merah padam dan malu- malu. Aku pun memutuskan untuk membatalkan niatku untuk melanjutkan membaca buku. Aku pun menutup bukuku dan memilih untuk mendengarkan pernyataan dari Rina.
“Sampai kapan kamu ingin berdiri seperti itu dengan muka merah begitu?” Tanyaku sambil menggoda Rina. Rina pun mendengus sedikit kesal karena aku menggodanya di saat yang tidak tepat. Tapi, tetap saja masih ada seulas senyuman manis tersungging di wajahnya. Rina pun memulai bercerita tentang sesuatu yang sedang ia hebohkan.”A…”.
KRIIIINGG!!!!
~Bel pun berbunyi~
“Yaaah belum juga cerita” protes Rina. Aku hanya tertawa melihat Rina yang terlihat kesal sambil mengerutkan alisnya. Hal tersebut membuatnya terlihat lucu. Aku pun melambaikan tanganku kearah Rina yang segera beranjak dari bangku sebelahku menuju kelas asalnya. Yap, Rina dan aku berbeda kelas.
“Hari ini sama seperti biasanya”gumamku.
“Ya Niyan? Apakah kamu berbicara sesuatu?” seru guruku dari depan kelas.Aku pun terperanjat kaget. “Ah, tidak ada kok bu” balasku dengan cepat.
“Baiklah anak-anak pelajaran kali ini kita akhiri sampai di sini saja. Sampai berjumpa di esok hari” kata Bu Guru dari depan kelas
KRIING!!
Bel pulang sekolah membuat siswa-siswi di kelasku ramai sekali. Para siswi pun bergerombol dan para siswa mengeluarkan gadget atau rokoknya masing- masing. Aku hanya menggelengkan kepala dan sudah terbiasa dengan pemandangan itu. Tiba- tiba aku teringat dengan Brian. Aku pun berlari menuju kelas Riyan. Tapi, di tengah perjalanan aku berlari, suara toak Rina terdengar memanggil namaku dengan keras. Secara otomatis aku berhenti secara tiba- tiba karena mengingat kata- kata Rina yang belum tersampaikan tadi pagi. Aku pun cepat membalikkan badan dan ingin menjelaskan kepada Rina bahwa aku sedang sibuk dan ada urusan penting. Belum saja membuka mulut, Rina sudah mengajakku pulang bersama. Aku pun tidak bisa menolaknya mengingat Rina yang belum sempat bercerita tadi pagi.
“RIYAN!!” panggilku dari kejauhan. Riyan pun menoleh padaku dan terkejut ketika melihatku berlari kencang ke arahnya. Otomatis Riyan memberhentikanku dengan kedua tangannya dengan cepat agar aku tidak menabraknya. Sementara itu Rina berhenti di belakangku dengan nafas yang tersendat-sendat. “Ayo jemput Brian” seruku dengan semangat. “Siapa Brian!!??” teriak Rina tepat di telingaku lagi. Aku pun meliriknya dengan tatapan sedikit dongkol. Tapi Rina tidak peduli dan terus bertanya-tanya tentang Brian. Riyan dengan nada datar berkata kepadaku: “ Rina ikut pulang bersama kita??” . Aku hanya bisa mangut mangut mengiyakan pertanyaan Riyan.”Okelah” jawab Riyan sambil tersenyum penuh makna. Sepertinya aku tahu kenapa Riyan tersenyum seperti itu. Aku hanya bisa menyikut lengannya. Riyan pun tertawa dengan santainya mengglayutkan kedua lengannya dia bahuku dan bahu Rina. Seketika muka Rina menjadi merah padam. Sementara Riyan hanya memandangi wajah Rina yang memerah dan tersenyum manis. Sebelumnya, aku tak pernah melihat Riyan tersenyum seperti itu kepada perempuan siapapun kecuali aku.
****
“Selamat siang Riyan dan Niyan” sapa Mona dengan hormat. “ Halo juga Mona” sahutku. Mona memang memanggilku dengan nama asliku dan hal yang sama juga pada Riyan. Aku dan Riyan menganggap Mona seperti teman.
“Apakah Brian diterima?” seru Riyan penasran dan bersenmangat. Rina terbelalak ketika melihat Riyan begitu semangatnya karena sesosok Brian. Siapakah Brian?Kenapa Riyan begitu senang dengan Brian? Tanya Rina dalam hati. “Brian diterima kok. Brian sudah bisa mulai sekolah hari ini. Sepertinya Brian juga bisa menyesuaikan diri di kelas”. Raut muka Riyan sangat senang dan begitu juga dengaku.
Sementara itu, Rina menjadi  bingung” Siapa Brian??” tanya Rina dalam hati sambil menggaruk- garuk kepalanya yang tidak gatal dengan kalut. Karena melihat sikap Rina yang tidak biasanya, aku dan Riyan serta Mona kebingungan melihat tindakan Rina yang aneh. Ketika Rina sadar bahwa ke 3 orang tersebut kebingungan melihatnya, ia pun segera menghentikan kekalutannya dan berusaha tersenyum lebar menutupi rasa malunya.
“Ada apa Rin?”tanyaku. Sementara itu, Riyan bertanya lebih heboh: “Apa kamu sakit?? Kamu ga apa? Mau pulang sekarang? Mau di antar?”. Mona tertawa kecil mendengar tanggapan Riyan yang berlebihan. “ Ga gitu juga kali Yan. Panjang banget pertanyaannya”. Riyan pun tersipu malu dan pipinya memerah. Pipi Rina juga memerah seketika. Dan suasana pun menjadi hening. “Aaah bukan apa apa kok Yan” seru Rina tiba- tiba. Perkataan Rina yang selalu tiba- tiba membuat kami ber-3 terperanjat kaget dengan mata sedikit terbelalak. Kami ber-3 pun serempak menatap Rina dengan tatapan datar (poker face). Rina pun menjadi kikuk.
“Loh ada kakak baru. Siapa dia Kak Ri?”Seru Brian. Ternyata dari tadi kami mengobrol sampai tidak sadar kalau bel sekolah dasar Brian telah berbunyi. Riyan langsung melihat ke arah Brian. Raut wajah Riyan berubah gembira dan menggendong Brian. Hap, Brian pun tertawa senang karena digendong Riyan. Sementara Rina kebingungan menatap anak kecil yang ada digendongan Riyan skearang.”Oh ya Brian, dia Rina. Kak Rina itu teman dekat kak Niyan” jawab Riyan menatap Rina penuh arti. “Ooh” jawab Brian dengan membentuk bibirnya menjadi bulat. “Rina, dia adik angkatku. Aku belum sempat becerita kepadamu tentang Brian ya kan??” jawabku sambil tersenyum lebar. Dan akhirnya Rina mengerti siapa Brian meski Rina tidak tahu asal- usul Brian.

Kamis, 19 Mei 2016

Part 1. Pertemuan tak disengaja


Hai, bertemu lagi.ini part 1.

1.Pertemuan tak disengaja

“Semua tak akan pernah berubah. Hari yang sepi dan tak berwarnah. Huh! Semua terasa hampa. Tak ada yang mengerti aku” seru Riyan merebahkan tubuhnya ke kasur empuk di kamarnya. Niyan saudara kembar Riyan hanya bias memandang kembarannya itu dengan bertanya- tanya. “Ada apa Ri??? Ada masalah lagi ya???” seru Niyan bertanya- tanya. “Ya. Di sekolahku aku selalu dipandangi dengan tatapan aneh. Mereka berisik sekali. Mereka selalu berteriak- teriak menyebut namaku. Teman- teman cowokku juga selalu memintaku mentraktir mereka. Mereka selalu merokok dan mengepulkan asap dari rokok mereka ke wajahku. Yah, seperti biasa, aku menanggapi mereka dengan sikap dingin dan berwibawa seperti yang diajarkan Pak Kim. Namun…” tiba- tiba saja ucapan Riyan terhenti. Niyan yang membaca buku novel kesukaannya itu otomoatis berpaling dari bukunya dan memperhatikan Riyan yang tadi bawel panjang lebar  dan tiba- tiba terdiam. Niyan terkejut melihat Riyan tertegun melihat keluar jendela. Niyan dengaan refleks cepat mengikuti arah pandang saudara kembarnya itu.
          Ternyata, Riyan memperhatikan sosok bocah laki- laki kecil tersedu- sedu berteriak minta tolong dan terdengar kata ayah dan ibu di sana. Sekilas Riyan mengingat tragedi 8 tahun lampau ketika Riyan melakukan hal yang sama. Riyan berlari menerobos penjaga dan menghampiri bocah kecil itu.”Ada apa?? Kenapa kamu menangis?”Kata Riyan sedikit tersendat- sendat mengendalikan nafasnya. Bocah kecil itu menangis dan memeluk Riyan dan berkata” Ayah mana, Ibu mana??” Bocah laki- laki itu menangis sesenggukan. “Siapa namamu bocah kecil?” tanya Riyan sambil mengelus kepala bocah itu.” Brian” sambil mengsuap- usap matanya. Tiba- tiba saja Niyan sudah berada di samping Riyan dan bertanya pada RIyan” Ada apa?”. Riyan”Tak apa, dia kehilangan Ayah dan Ibunya seperti kita”. Tiba- tiba saja tangis Brian terhenti dan ia kebingungan. Wajah Riyan dan Niyan sama. Sudah sepantasnya anak sekecil Brian yang masih berumur 5 tahun kebingungan.”Kakak kok ada 2? Kalian siapa?” Tanya Brian sambil sedikit memiringkan kepalanya. Niyan tertawa dan menggendong anak kecil itu. Tanpa memedulikan badan Brian yang kotor dan ingus yang dia keluarkan, Nian memperkenalkan diri serta mengajak Brian masuk ke rumah.
          Ketika di ruang tamu, Riyan meminta Brian dimandikan dan diberikan baju yang cocok untuk anak seumurannya. “Tak kusangka, Brian sama seperti kita. Yah meski kita  masih belum tau ada kejadian apa yang menimpanya. Tapi entah kenapa, aku merasa aku seperti dia ketika kecil. Bahkan dia lebih kecil dri umur kita ketika kita ditinggalkan almarhumah papa dan mama” Kata Niyan . “Yaaa kurasa kamu merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan”kata Riyan berusaha menutupi sisi rapuhnya ketika mengingat dengan mata kepalanya sendiri melihat ledakan yang membawa bencana itu.
***
          “Kakak Niyan!!” seru Brian kegirangan dan berlari menuju Niyan .”Hai.. sudah wangi ya. Baju ini cocok denganmu Brian. Kamu tampan sekali” Kata Niyan sembari menggendong Brian. Brian tampak gembira. Ketika Brian melihat Riyan sedikit merenung, Brian berusaha turun dari gendongan Niyan. Brian menuju Riyan dan mendekati Riyan. Brian memegang tangan Riyan dan menatap wajah Riyan lekat- lekat. Riyan terkejut dan menatap Brian dengan lembut. “Ada apa kak? Kenapa kakak bersedih?”kata Brian sambil menggembungkan pipinya sehingga terlihat sangat mnggemaskan. Riyan pun tertawa dibuatnya. Riyan pun mengajak Brian duduk di ruang bermain yang sudah lama tidak pernah dipakainya. “ Seingatku, dulu terakhir aku kesini ketika kita berumur 13 tahun ya Niyan??”Kata Riyan sambil tersenyum. Niyan pun membalas ucapan Riyan dengan anggukan setuju yang mantap. Brian takjub melihat mainan dan interior yang tertata rapi. Namun Brian pun kembali menangis. Niyan dan Riyan gelagapan terkejut melihat Brian kembali menangis. Riyan pun duduk di lantai dan mengajak Brian berbiacara sekaligus memainkan mainan robot- robotan miliknya dulu untuk Brian.Brian bercerita bahwa ayah dan ibunya menghilang di taman bermain. Brian hanya bisa melihat banyak mobil polisi mengelilingi taman. Brian mendengar bahwa banyak orang yang mengatakan ayah dan ibunya telah meninggal. Brian melihat ayah dan ibunya terkapar bersimpah darah. Tapi Brian menggeleng- geleng tak percaya bahwa itu adalah ayah dan ibunya. Meski mayat yang ia temukan sama seperti ayah dan ibunya.
          Riyan terkejut dan begitu juga dengan Niyan. Niyan menangis dan memeluk Brian. “ Brian, tinggalah bersama kami. Kamu aman bersama kami. Kamu bisa memanggil kami kakak. Kami sekarang adalah kakakmu dan Brian sekarang adik kami ya?”. Brian bingung apa maksud Niyan. Tapi Brian berusaha mengerti dan mengiyakan perkataan Niyan. Sejak itu, Brian kami angkat menjadi adik kami. Brian tumbuh besar dengan kami. Brian ternyata adalah anak yang sopan.  Meski mempunyai beberapa perbedaan karakter dengan kami.
          Brian selalu bertindak menggemaskan. Pipinya yang tembam dan tubuhnya yang lincah membuat kami bahagia melihatnya. Sebenarnya, aku dan Niyan sedikit kasihan melihat pelayan kami kewalahan mengejar Brian dan bermain dengannya. Namun, aku rasa Brian sudah terbiasa hidup bersama kami. Meskipun sebenarnya aku tahu kepahitan yang sedang Brian rasakan sekarang. Mungkin juga Brian masih terlalu kecil untuk memahami ketiadaan ayah dan ibunya. Entahlah, aku juga tidak tahu.

Kamis, 28 April 2016

the project

Hai. Bertemu lagi.
Sebenarnya saya adalah seorang pelajar. Blog ini adalah tugas dari guru KIR Komputer.
Saya kali ini mendapatkan tugas kembali.  Tugas saya adalah..... mencantumkan nama teman saya sekaligus blog yang dibuatnya ke dalam artikel ini.

Blog Riyan dan Niyan saya buat secara tidak sengaja. Pertamanya, saya hanya menulis cerita yang ingin saya gunakan sebagai sarana mengekspresikan diri. Dan saya sendiri juga ingin mencoba menulis novel dengan serius. Akhirnya, ayah saya menyarankan untuk memasukkan karya saya (Maaf banyak kekurangan dalam blog ini)

Yaaa, oke this is my friends.

Saya punya teman (saudara sih). tapi saya anggep temen di skolah.
Namanya Eva. Dia saudara kembarku. Dia penggila webtoon T-T. Eva juga punya blogger lho.

Dan temanku Jojo. Dia suka art.
Ada juga Lisa. Lisa pintar sekali menggambar.